KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunianya serta junjungan Nabi besar Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik .
Adapun makalah yang penulis buat merupakan salah satu tugas softskill yang diberikan oleh dosen Pendidikan Kewarganegaraan. Tugas yang penulis buat ini dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi jika ada kesalahan yang terdapat dalam makalah ini, mohon dimaafkan. Sekian terimakasih.
Bekasi, 27 Februari 2011
Penulis
BAB
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan Negara yang mempunyai beragam agama. Agama-agama di Indonesia ada karena berdasarkan hukum-hukum yang mengesahkan agama tersebut. Agama yang ada di Indonesia antara lain adalah Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindhu, Budha dan satu agama lain yang baru ada diIndonesia adalah Khonghucu. Untuk itu sebagai warga Negara Indonesia yang baik dan benar maka warga harus menjaga kerukunan sesama umat beragama. Tetapi belakangan ini banyak terjadi konflik antar sesama agama. Konflik agama tersebut akan banyak berdampak pada warga Indonesia dan juga NKRI. Untuk itu pada makalah ini membahas tentang konflik agama merupakan ancaman bagi NKRI.
BAB
PENJELASAN
KONFLIK AGAMA MERUPAKAN ANCAMAN BAGI NKRI
Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “KeTuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Di tahun 2010, kira-kira 85,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 9,2% Protestan, 3,5% Katolik, 1,8% Hindu, dan 0,4% Buddha.
Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya". Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu.
Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia.
Pemeluk agama di Indonesia sangat rawan konflik, kondisi ini dipengaruhi oleh banyaknya suku pemeluk agama tetapi dipicu oleh catatan sejarah yang juga menceritakan bahwa terjadi konflik dikalangan pemeluk agama. Karena itu, peluang terjadinya konflik antar pemeluk agama sangat besar. Tetapi harus dihindari, salah satunya memanfaatkan kearifan lokal yang sarat dengan konsep kerukunan umat beragama.
Abdul Fatah, selaku Kepala Pusat Kerukunan Beragama mengatakan, adanya enam agama yang ada di Indonesia dengan perbedaan yang mendasar dan beragam kepentingan, tentu saja mudah memicu konflik. Tetapi semua itu bisa diredam dengan adanya sistem kearifan lokal di Indonesia. Misalkan yang ada pada masyarakat Batak dengan sistem Dalihan Natolu yang berfungsi merekatkan masyarakat yang secara nyata telah mampu membina rukunnya umat beragama di Sumut. Demikian juga di Sulawesi Utara dengan adanya budaya maplous dan momosat (gotong royong) sekalipun beda etnis dan agama.
"Hampir setiap daerah memiliki tradisi perekat itu dan bisa dijadikan kekuatan untuk mencegah bibit perpecahan," kata Abdul Fatah.
Sedangkan Kepala Kantor Departemen Agama Provsu, Syariful Mahya Bandar, mengatakan, adanya kearifan budaya lokal untuk menghempang terjadinya konflik antar pemeluk agama adalah hal positif, hanya saja harus ditekankan bahwa kehadiran umat berbeda agama dan keyakinan pada suatu acara atau memenuhi undangan terkait dengan kearifan budaya lokal tadi, sifatnya adalah tradisi sosial keagamaan tidak terikat kepada ritual agama.
"Harus kita tekankan bahwa kehadiran umat berbeda agama dan keyakinan pada suatu acara keagamaan adalah bersifat tradisi sosial keagamaan dan tidak terkait dengan ritual agama," ucap Syariful Mahya Bandar.
Dia menambahkan pembinaan agama merupakan tanggung jawab departemen agama sebagai institusi negara yang memang secara historis mempunyai wewenang di bidang itu. Arah pembinaan kehidupan beragama di Indonesia adalah membangun kerukunan hidup intern dan antar umat beragama serta umat beragama dengan pemerintah. Hal ini disebebkan agama mempunyai kecenderungan untuk menyebarkan kebenaran yang diyakini kepada umat manusia. Jika kecendrungan itu tidak diatur, maka masyarakat beragama berpotensi untuk saling berebut pengaruh yang pada gilirannya dapat menimbulkan konflik antar agama.
"Untuk ini diperlukan pedoman dan fasilitas bagi kalangan umat beragama untuk saling berdialog dan kerjasama seperti kegiatan hari ini, yang membahas tradisi sosial keagamaan yang merekatkan umat beragama," tambah Syariful Mahya Bandar.
Beberapa penyebab dari konflik agama yang terjadi diIndoneisa adalah kemiskinan yang memicu konflik agama. Menurut Mantan Ketua Umum PB NU Hasyim Muzadi mengemukakan, sebagian besar konflik antaragama yang terjadi Indonesia pada dasarnya adalah persoalan nonagama yang dikait-kaitkan dengan agama. Ini juga banyak dipicu oleh persoalan kemiskinan yang tak kunjung terselesaikan. Baik kemiskinan ekonomi, budaya, maupun moral.
Demikian dikatakannya saat menjadi pembicara dalam acara dialog kebangsaan bertema Meneguhkan Kebinekaan, Menyelamatkan Bangsa, yang digelar di Gedung DPR Jakarta, Jumat (25/2).
Hadir pula, antara lain mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, Prabu Guna Avatar (Hindu), dan Ienar Sitompul (Kristen) dengan moderator Zuhairi Misrawi. Hasyim mengatakan, berdasarkan penelitiannya, konflik agama yang benar-benar bermotif agama hanya 30 persen saja. Sementara 70 persen lainnya adalah masalah nonagama yang dikaitkan dengan agama, semisal konflik sosial, ekonomi atau politik yang digeser ke agama. Karenanya Hasyim menyesalkan apabila terjadi konflik antaragama, biasanya banyak pihak langsung memvonis peristiwa itu sebagai konflik agama semata-mata. "Sementara untuk menghindari gesekan, itu adalah tugas negara," ujarnya. Pada bagian lain, Hasyim menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara bangsa berada diantara negara sekuler dengan negara agama.
Menurut Sekjen ICIS tersebut, Indonesia tidak mono agama, sehingga masyarakatnya tidak bisa menuntut menjadi suatu negara agama. Pada saat yang sama, Indonesia juga bukan negara sekuler yang bebas segalanya tanpa ada norma agama sebagai batasannya. Terkait dengan hal itu, ia menambahkan, Pancasila sebagai dasar negara ini merupakan temuan yang luar biasa dan mampu merangkum keduanya secara seimbang. Oleh karena itu, Hasyim mengatakan bahwa, Negara tidak boleh memaksakan yang berbeda, baik secara tekstual maupun substansial. Dengan begitu maka dari peguyuban keberagamaan yang ada tersebut tidak akan terjadi pergesekan-pergesekan, namun kalau terjadi konflik maka Negara harus melindungi. "Kalau begitu, maka Negara akan selamat," ujar pengasuh pesantren Al-Hikam ini.
Di tempat yang sama, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin yang juga menjadi pembicara mengatakan, Islam adalah agama yang menyebarkan perdamaian dan kasih sayang. namun ironisnya Islam sering dipersepsikan sebagai agama kekerasan dan suka membunuh. "Kekerasan itu kita kecam dan kutuk. tapi persepsi demikian juga harus diluruskan," ujarnya. Oleh karenanya, agama Islam dan umat Islam sejatinya membawa kesalamatan dan kedamaian untuk semua, karena Islam itu sendiri sebagai agama yang damai dan membawa keselamatan dan aktor yang menyelamatkan Kemanusiaan. Karena itu musuh Islam itu sesungguhnya anarkisme dan kekerasan itu sendiri. "Agama itu sejatinya memang dari Tuhan untuk manusia dan untuk menyelamatkan kemanusiaan," kata Din.
Contoh konflik agama yang terjadi diindonesia
Awal Kejadian terjadinya konflik di Ambon adalah Konflik pertama-tama dipicu oleh kejadian pertengkaran personal antara seorang sopir angkutan umum dan seroang pemuda yang sudah dianggap biasa oleh masyarakat Ambon pada umumnya. Ada dua versi, dari Islam dan Kristen, yang beredar di masyarakat. Pertengkaran personal ini kemudian meluas menjadi pertikaian antar kelompok agama dan suku yang meledak menjadi kerusuhan.
Berbagai Kejanggalan yang terjadi adalah dilihat pada saat-saat awal kejadian kerusuhan meledak dan melebar dalam skala besar. Beberapa issue, peristiwa dan kejanggalan kiranya dapat menjadi petunjuk perlunya masyarakat bersikap kritis terhadap seluruh rentetan berkembangnya issue dan kejadian kekerasan.
Pertama, konflik sudah biasa terjadi dalam masyarakat Ambon tapi kenapa meledak jadi kerusuhan? Kejanggalan terjadi ketika konflik yang sudah dianggap normal terjadi antara orang Muslim dan Kristen merembet menjadi kerusuhan skala besar yang tidak terkendali. Picu kejadian bermula di sebuah kawasan terminal angkutan kota dan pasar, yang keadaan psikologisnya penuh dengan perjuangan dan persaingan hidup dalam usaha mencari makan, seperti di kalangan sopir, kernet dan pedagang pasar. Tawar-menawar dan bahkan pemerasan adalah hal biasa, seperti di kawasan sejenis di manapun di Indonesia. Pada umumnya orang toh masih toleran, artinya tidak akan membiarkan pertengkaran kecil menjadi alasan untuk meledaknya kerusuhan yang demikian tak terbayangkan skala akibatnya. Masyarakat mana pun tentu memiliki batas toleransi untuk tidak merugikan diri mereka sendiri, sekalipun terdapat perbedaan agama yang dalam, apalagi untuk masyarakat Ambon yang sudah lama berada dalam keadaan tenang. Dengan kata lain, berkembangnya pertengkaran kecil menjadi kerusuhan yang demikian luas akibatnya, sangat sulit diterima akal sehat.
Kedua, munculnya teriakan-teriakan provokatif. Teriakan itu berisikan issue yang sebenarnya tidak ada kebenarannya dalam peristiwa nyata. Artinya issue-issue yang berkembang di awal meledaknya kerusuhan rupanya dimaksudkan untuk menimbulkan kemarahan, sehingga orang demikian cepat menanggapinya dengan aksi kekerasan. Setelah kejadian awalnya (19 Januari) sama sekali tidak tampak adanya hal-hal yang dapat langsung dihubungkan dengan perkara agama. Tapi, tiba-tiba terdengar di sana-sini issue yang menyebar bahwa "masjid dibakar", "gereja dibakar". Padahal tidak ada satu gereja atau masjid yang dibakar sampai detik-detik itu. Sebagaimana yang disampaikan oleh Amir, seorang saksi korban, seperempat jam setelah peristiwa pertengkaran personal itu sudah terbentuk segerombolan massa yang siap menyerang. Maka dalam waktu 30 menit issue dan teriakan "gereja dibakar" dan "masjid dibakar" sudah beredar di mana-mana dan memancing warga dari tempat lain untuk berdatangan dan mengundang konsentrasi kelompok-kelompok massa berdasarkan perbedaan agama di daerah-daerah dan lokasi-lokasi yang rawan konflik.
Ketiga, jarak waktu terlalu singkat untuk mengerahkan massa. Antara awal pertengkaran dan pembakaran rumah-rumah hanya berkisar 2 jam. Namun anehnya, dalam waktu sesingkat itu pihak-pihak yang bertikai sudah siap dengan bom molotov, sejumlah kelewang dan alat-alat kekerasan lainnya. Jumlah konsentrasi massa yang sedemikian besar sama sekali sulit dan tak dapat dibayangkan dapat dikumpulkan dalam waktu yang sesingkat itu. Di samping itu, kerusuhan terjadi hampir dalam waktu yang bersamaan. Massa datang dari berbagai lokasi desa yang jarak antarlokasinya cukup berjauhan. Sehingga aneh bahwa mereka dapat dikumpulkan dalam waktu yang cukup singkat, kalau tidak dipersiapkan dan direncanakan sebelumnya.
Keempat, munculnya orang-orang tak dikenal. Orang-orang yang sudah lama tinggal di kawasan tempat kejadian kerusuhan bahkan sama sekali tak mengenal mereka. Saksi Amir, misalnya, yang seumur hidup tinggal di Batu Merah Bawah, menyaksikan bahwa pemimpin rombongan massa perusuh itu sama sekali tak dikenalnya. Amir memastikan bahwa orang tersebut pasti berasal dari luar kawasannya. Pertanyaannya: bagaimana mungkin dalam waktu sesingkat itu orang sudah dapat memimpin serombongan massa yang begitu banyak? Saksi-saksi lain menyatakan bahwa orang-orang tak dikenal itu mengendarai sepeda-sepeda motor dan mobil dan menyebarkan berita bahwa masjid dan gereja dibakar.
Kelima, alat komunikasi dan senjata api di tangan para perusuh. Ada orang-orang tak dikenal oleh masyarakat setempat mempengaruhi percepatan konsentrasi massa dengan menggunakan bantuan alat-alat komunikasi, seperti handytalky, handphones, dan juga senjata api. Aparat terlihat memberi pasokan senjata tajam kepada massa.
Keenam, selebaran dengan kata-kata tak lazim. Adanya provokasi lewat selebaran-selebaran yang mencantumkan kata-kata yang tidak biasa digunakan di lingkungan Ambon–Lease, seperti penggunaan kata "Nasrani", sementara warga Ambon lebih akrab dengan kata "Serani". Juga ditemukan selebaran berbahasa Arab yang ditulis dengan ngawur.
BAB
PENUTUP
Kesimpulan yang dapat penulis ambil adalah bahwa konflik agama yang sering terjadi di Negara Indonesia akan berdampak kepada seluruh warga Indonesia. Dikarenakan diIndonesia memiliki beragam agama dan setiap warga Indonesia berhak memilih agama yang akan dianutnya. Konflik agama yang sering terjadi di ambon, poso, bekasi, aceh, dan daerah-daerah lainnya karena warganya tidak bisa menjaga kerukunan antar sesame warganya. Untuk itu agar tidak terjadi konflik antar agama maka warga Indonesia harus menjaga kerukunan antar sesama umat beragama.
REFERENSI
id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia
http://members.fortunecity.com/edicahy/selectedworks/ModusAmbon.html
0 komentar:
Posting Komentar